Kadang aku berfikir, bisakah menghentikan waktu walau sebentar? Mencoba mengingat semua hal yang telah aku lalui. Hingga kini aku sudah tiba di tahap ini. Sebuah tahap di mana aku mulai tidak yakin dengan diriku sendiri.
Ini tidak sesederhana yang aku pikirkan. Kini aku telah tiba pada tahap di mana aku meragukan diriku sendiri. Tahap yang membuatku percaya bahwa ketidakpercayaan yang paling berat adalah ketidakpercayaan pada diri sendiri. Dan, inilah aku yang sekarang.
Aku selalu melihat orang lain dengan segala keberhasilannya. Yang membuatku berfikir:
“Mengapa aku tidak seperti mereka?”
“Mengapa aku masih begini-begini saja?”
“Mengapa aku masih berada pada tempat yang sama?”
Aku akui sebuah keberhasilan itu tidaklah mudah. Keberhasilan itu membutuhkan perjuangan. Sama seperti yang lain.
Aku mengupayakan diriku agar mendapat hasil yang memuaskan. Tapi, lagi dan lagi, yang aku temui adalah kegagalan. Aku tak tahu lagi berapa kata gagal yang telah aku temui.
Namun,
Saat aku melihat ke sekitar, bagaimana orang lain dengan segala usahanya mendapatkan keberhasilan. Aku berfikir, aku juga sama. Aku sudah berusaha. Aku telah berjuang. Sama seperti mereka. Tapi mengapa yang aku temui adalah kegagalan? Mengapa hasilnya berbeda?
Mereka dengan keberhasilan. Tapi mengapa aku dengan kegagalan? Dengan semua kegagalan ini, apakah aku bisa maju?
Tentang bagaimana aku yang mungkin tak sebanding dengan mereka. Tentang aku yang tak bisa berpijak pada titik yang mereka pijak saat ini.
Semakin aku mengingat, semakin terlihat jelas kekurangan yang aku miliki kini. Aku merasa berada pada titik yang gelap. Yang terasa sunyi dan menakutkan.
Pada titik itu, aku tak memiliki semangat untuk mencari pintu. Untuk aku bisa keluar. Aku terlalu larut dengan pikiran yang menjatuhkan diriku. Pikiran yang aku buat-buat sendiri.
Semakin lama, aku merasa bahwa yang aku lakukan tidak bernilai apa-apa. Aku terlanjur jatuh pada titik gelap yang tak terjangkau oleh sinar. Hingga aku sadar bahwa aku pasti memiliki sisi terang di antara ribuan gelapku. Dan saat itu pula aku mulai yakin bahwa aku pasti bisa naik ke permukaan, mencari semua titik keberhasilan yang memang ditakdirkan untuk aku usahakan.
Karena segala yang diciptakan-Nya, akan selalu membawa manfaat. Begitu pula alasan mengapa aku diciptakan. Bukankah hadirku untuk memberi kebahagiaan dan manfaat untuk orang lain?
Aku dengan segala ketidakpercayaan dalam diriku, membuatku lupa bagaimana caranya bersyukur. Siapa yang akan mendukungku dengan sepenuhnya jika bukan diriku sendiri?
Karena semua itu diawali dari bagaimana mensyukuri anugerah ilahi. Lalu belajar untuk terus menghargai diri.
*) Intan Septiana, penulis adalah santri putri Ar Rahmah Boarding School Pacitan.
Subhanallah. Bagus sekali narasinya. Semoga terus berkembang bakatnya untuk memberi pencerahan untuk kebaikan