Oleh: Gunawan, M.Pd.
SUAR News | Jumat, 17 Juli 2020. Dalam sebuah institusi kerja, terkadang persoalan kesejahteraan menjadi penyebab keimanan seseorang menjadi goyah. Terkadang terlintas dalam pikiran bahwa “Sudah bekerja seperti ini, tapi hasilnya kok cuma segitu?”. Akhirnya, munculah kekecewaan.
Jika tidak dikelola secara baik, kekecewaan ini akan terus menyesakkan dada. Membuat tidak nyaman dalam bekerja. Melunturkan spirit, bahkan menjadi potensi masukknya bisikan setan yang akan meruntuhkan bangunan nilai pekerjaan.
Munculnya perasaan gampang kecewa akibat beda kesejahteraan, salah satunya disebabkan adanya dominasi spirit transaksional. Akibatnya, yang ada dalam pikiran hanya “melakukan apa-dapat apa”.
Prinsip ini logis untuk diterapkan di perusahaan atau pekerjaan yang berorientasi profit lainnya. Spirit transaksional hampir sepenuhnya mengandalkan ukuran materi. Dalam kerja transaksional ini, adakalanya mengubur spirit ibadah dalam bekerja.
Kerja transaksional mengakibatkan keyakinan bertransaksi kepada Allah lemah. Bahkan mampu mengakibatkan hilangnya orientasi dan adab bekerja untuk ibadah. Padahal orientasi kerja untuk ibadah kepada Allah menjadi hal yang utama.
Bekerja dengan diniatkan ibadah kepada Allah, menjadikan hati kita terbentengi dari bisikan setan. Pikiran menjadi lebih terarah. Energi keluar sesuai dengan porsinya. Selalu ada jalan kala menghadapi kesulitan. Keluarga kita menjadi tenang. Team work tumbuh dengan solid. Dan tentu, hasil kerja menjadi berkah untuk diri dan orang lain.
Bagi Allah, untuk mewujudkan keadaan tersebut sangat mudah. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Untuk itu, hendaknya kita terus mengelola hati kita. Hal ini dimaksudkan agar seluruh kerja kita menggantungkan harapannya kepada Allah, bukan kepada yang lainnya.
Dari realita di atas, Islam memberi solusi agar umat manusia mampu memahami rahasia keagungan-Nya. Agar segala yang ia hadapi tidak menjadi beban dalam hidup kita.
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, diantaranya:
Pertama, kembali mengenali lebih dalam tentang tujuan hidup di dunia.
Al Quran memberi tuntunan yang bijak akan pentingnya memahami tujuan hidup di Dunia. Dalam Surat Al-Mulk ayat 2, Allah berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.
Ibnu Abbas menafsiri ayat ini dengan menjelaskan bahwa tujuan diciptakan hidup dan mati adalah untuk menguji siapa yang paling ikhlas amal ibadahnya. Jelas bahwa orang yang tahu tujuan hidupnya, maka kualitas ibadahnya akan semakin berisi.
Kedua, memiliki prasangka baik kepada Allah.
Segala yang dikehendaki oleh Allah selalu ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Manusia tinggal memaknai bahwa segala kenikmatan yang diberikan merupakan sebuah ujian. Juga merupakan tanggung jawab yang besar. Jika sengaja dilupakan, akan berbuah kesengsaraan.
Segala cobaan hidup mulai dari kekurangan harta, kedudukan, hingga ketakutan yang selalu menghantui, bila dicerna secara seksama akan membuahkan keistimewaan.
Sayangnya, manusia cepat puas dengan kemampuan yang ia miliki. Lalu menjadikannya lupa dan tak berdaya kala masalah datang mendera.
Hal ini senada dengan petuah Ibnu Athoillah Al Iskandari:
ربما أعطاك فمنعك، و ربما منعك فأعطاك
Artinya: Kadangkala Allah memberimu sesuatu dengan cara menghalangi/mengujimu, sebaliknya kadangkala Allah memberi kegagalan padahal hakikatnya sebuah keberhasilan.
Ketiga, memiliki keyakinan bahwa Allah Maha Adil.
Allah selalu menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Tidak pernah melebihi kemampuan dan kapasitas hamba-Nya.
Allah ciptakan segala sesuatu dengan keserasian. Semuanya dibentuk dengan keteraturan yang tinggi. Buktinya, Allah menciptakan manusia dengan berbagai macam keragaman. Beda kulit, beda karakter, beda bahasa, bahkan beda status sosialnya. Semua difungsikan agar saling melengkapi satu dan yang lainnya.
Ini sebagian ketetapan Allah di muka bumi ini, agar manusia bisa memahaminya. Apa yang baik untuk Allah belum tentu nyaman untuk kita. Apa yang baik untuk kita, belum tentu keridhoan Allah datang menyertainya.
*) Gunawan, penulis adalah Ketua Yayasan Ar Rahmah Pacitan